BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Informasi mengenai asal-usul penghuni pertama
daratan Sultra dan kepulauan Buton dan Muna. Prof. Dr. E. Rustam Tamburaka
sebagai ketua tim peneliti “Sejarah Sulawesi Tenggara dan 38 Tahun Sultra
Membangun”. Diuraikannya dengan sangat jelas bahwa “Penduduk pertama daratan
sultra termasuk kepulauan Buton dan Muna adalah bagian yang tak terpisahkan
dari persebaran penduduk yang mendiami kepulauan nusantara, yaitu Ras Mongoloid
dan Ras Austro Melanesoid.
Celebes Tenggara atau Sulawesi tenggara
sebagai suatu istilah geografis telah dikenal beberapa abad yang lalu. Dalam
perjanjian antara Sultan Buton Dayanu Ikhsanuddin laelangi dengan
Apollonius Schot dari VOC Belanda tanggal 5 januari 1613. Kesultanan Buton
disebutkan, terletak di Zuid Oost Celebes atau Sulawesi Tenggara. A Ligtvoet,
dalam bukunya: Beschrijving en Geschiedenis Van Buton, 1877 menyebutkan jazirah
Sulawesi Tenggara dengan ( Het Zuidoostelijk Schiereiland Van Celebes ).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Asal-usul Penduduk Sulawesi Tenggara
2. Apa
saja sistem kepercayaan?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Suku
Muna
A.
Asal
Usul
Suku Muna adalah suatu suku yang terdapat di
pulau Muna kabupaten Muna dan pulau-pulau kecil sekitarnya, terdapat juga di
pulau Buton, pulau Siompu, pulau Kadatua dan kepulauan Talaga provinsi Sulawesi
Tenggara.
Menurut La Kimi Batoa dalam bukunya
"Sejarah Muna" dikatakan bahwa penduduk asli pulau Muna adalah O
Tomuna dan Batuawu.
A Tomuna
memiliki ciri-ciri berkulit hitam, rambut ikal tinggi badan antara 160- 165 cm.
Ciri-ciri ini merupakan ciri-ciri umum suku-suku melanesia.
B Batuawu
berkulit coklat berambut ikal dan tinggi tubuh sekitar 150-160 cm. Ciri-ciri
seperti ini merupakan ciri yang dimiliki suku-suku polynesia yang mendiami Nusa
Tenggara Timur dan daerah Maluku.
Menurut para peneliti nenek moyang orang Muna
(O Tomuna dan Batuawu) telah menghuni pulau Muna sejak ribuan tahun yang lalu.
Selain di pulau Muna, mereka juga menjadi penghuni pulau Buton dan pulau-pulau
keci lainnya. Penyebaran ini terlihat dari hubungan bahasa dan ciri-ciri fisik
yang terdapat di daerah pulau-pulau tersebut.
Orang Muna menjadi penghuni pertama pulau Muna
dan pulau-pulau lainnya sejak zaman purbakala. Hal terbukti dengan ditemukannya
relief purba di gua Liangkobori dan Gua Metanduno. Menurut beberapa peneliti,
relief tersebut telah berusia lebih dari 25.000 tahun. Relief yang ada di Gua
Liangkobori dan Metanduno secara jelas menceritakan aktifitas nenek moyang
orang Muna saat itu.
Dari relief tersebut disimpulkan kalau nenek
moyang orang Muna menempati gua sebagai tempat tinggal mereka. Orang Muna saat
itu seperti yang diceritakan dari relief tersebut telah menggunakan alat-alat
pertanian dalam bercocok tanam. Sepertinya mereka juga memiliki pengetahuan
tentang astronomi, seperti yang terlihat dari gambar matahari, bulan dan
bintang. Terdapat beberapa nama rasi bintang yang menjadi petunjuk untuk
melakukan aktifitas pertanian. Misalnya saja rasi bintang yang dinamakan Fele,
apabila rasi bintang ini sudah makin terlihat jelas, maka aktifitas
membersihkan lahan segera dimulai sebab satu bulan lagi hujan pertama akan
turun. Apabila hujan sudah turun maka pembakaran lahan dimulai.
Salah satu tradisi muna yang populer adalah
"Perkelahian Kuda", yang diadakan pada berbagai acara atau perayaan
dan penyambutan tamu penting atau melayani permintaan khusus. Seekor kuda
betina akan diperebutkan oleh dua ekor kuda jantan sehingga mereka berkelahi
untuk mendapatkannya. Perkelahian ini biasanya diadakan di lapangan terbuka
Masyarakat
suku Muna sebagian besar hidup pada bidang pertanian. Mereka membuka lahan
dengan aturan-aturan adat yang disepakati dan ditaati bersama. Tanaman padi
menjadi tanaman utama mereka. Selain itu jagung, ubi kayu, ubi jalar dan
beberapa jenis sayuran serta buah-buahan juga tambahan dalam hasil pertanian
mereka.
a.
Sistem
Kepercayaan
Masyarakat pada masa itu beranggapan bahwa
tiap-tiap benda atau makhluk mempunyai makna. Mereka percaya bahwa tiap
benda/makhluk mempunyai jiwa atau roh seperti jiwa manusia yang secara tak
langsung dapat dilihat dengan mata. Jika ada orang meniggal maka tubuhnya yang
hancur sedang jiwanya tetap hidup dan seakan-akan tinggal di sekelilingnya.
Jadi anggapan mereka dunia dimana kita hidup terdapat jiwa orang-orang yang
sudah meninggal. Begitu pula makhlul lain yang tidak Nampak sering diibaratkan
dengan hantu, kuntilanak, dan sebagainya.
Mereka beranggapan orang-orang yang telah
meninggal tidak lepas dari masyarakat (orang-orang yang masih hidup). dan
mereka itu tetap memperhatikan orang-orang yang ditinggalkan. Atas kepercayaaan
ini, maka mereka selalu mengadakan pemujaan terhadap arwah nenek moyang. Wujud
perwujudan tersebut dilakukan melalui upacara-upacara yang ritual tradisional,
missal pada waktu membuka tanah untuk kebun atau pada waktu memulai musim
tanam.
B. Suku Tolaki
Menurut Prof. Drs. Rustam E. Tamburaka, M.A.
(1989), bila dilihat dari ciri-ciri antropologisnya baik Chepaliks index, mata,
rambut, maupun warna kulit, suku Tolaki memiliki kesamaan dengan ras Mongoloid.
Diduga berasal dari Asia Timur, mungkin dari Jepang dan kemudian disebarkan
keselatan melalui kepulauan Riukyu, Taiwan, Philipina. Ada juga yang mengatakan
bahwa perpindahan pertama berasal dari Yunan (RRC) ke selatan Philipina,
Sulawesi Utara ke pesisir timur Halmahera. Pada saat memasuki daratan Sulawesi
Tenggara masuk melalui muara sungai Lasolo dan Konawe yang dinamakan Andolaki.
Dr. Albert C. Kruyt (orang Belanda)
mengemukakan bahwa: suku Tolaki mempunyai pertalian erat dengan suku-suku
Malili di daerah Mori, hampir pasti bahwa perpindahannya dari utara menuju ke
selatan menempati dan menduduki tempat sekarang ini dengan menyusuri sungai
lasolo yang dalam sumbernya terdapat danau Towuti. (Lakebo, 1986).
Pendapat di atas diperoleh kesan bahwa
penduduk Sulawesi Tenggara khususnya suku Tolaki dalam penyebarannya berawal
dari danau Matana atau pertalian daerah dengan suku Malili dari daerah Mori.
Perpindahan tersebut berawal dari Yunan atau mungkin kepulauan Riukiyu di
Jepang dan dari arus perpindahan secara bergelombang mereka sebagian melewati
danau Matana
Dalam profil kependudukan dan keluarga
berencana propinsi Sulawesi Tenggara hasil penelitian Rustam Tamburaka
menerangkan sebagai berikut:
Orang Tolaki apabila dilihat dari ciri-ciri
Antropologinya maupun shepalik indeknya seperti mata, rambut, maupun warna
kulit, maka suku tolaki memiliki ciri-ciri yang sama dengan ras Mongoloid yang
berasal dari Asia Timur, mungkin dari Jepang dan kemudian menyebar ke selatan
melalui kepulauan Riukiyu, Taiwan dan juga Philipina. Ada juga menyatakan bahwa
perpindahan pertama berasal dari Yunan di selatan Philipina, Sulawesi Utara ke
pesisir timur Sulawesi. Pada saat memasuki daratan Sulawesi Tenggara masuk
melalui muara sungai Lasolo dan Konaweeha yang bermukim awal di Andolaki (1889:
57).
Apabila pendapat di atas dihubungkan dengan hasil penelitian para ahli
pra sejarah,misalnya : Van Stein Collenfels, Van Gelden, Hercel dan Coen, maka
menurut pendapat penulis yaitu dari Ras Mongoloid dan Ras Austromelanesoid.
Adapun proses persebarannya hingga sampai di
daratan kendari, kolaka, kepulauan Buton dan Muna di Sulawesi Tenggara melalui
dua arah dan empat gelombang.
Pertama: Dari arah Utara terdiri atas tiga
gelombang perpindahan yaitu: gelombang pertama Ras Molongoid dari Cina Selatan
dan kepualauan Riukiyu Jepang melalui Vietnam, kepualauan Philipina, sangir
Talaud, Sulawesi Utara, Halmahera, Sulawesi bagian timur lalu masuk di daratan
Sulawesi tenggara melalui muara sungai berkonsentrasi di Andolaki.
Perpindahan gelombang kedua berasal dari arah
utara tetapi memasuki pulau Sulawesi dari arah barat (semenanjung melayu)
dinamakan Ras Proto Melayu, dan sisanya adalah orang Katobengke dan orang Wara
di Buton, orang Labora di Muna dan orang Toare di daratan Sulawesi Tenggara dan
jumlahnya sedikit.
Perpindahan gelombang ketiga oleh doctor Alb.
C. Kruyt disebut gelombang deutro Melayu, juga dari arah utara dan barat dan
memasuki Sulawesi Tenggara melalui danau Towuti dan Matana.
Perpindahan gelombang keempat yaitu
perpindahan ras Austro Melanesoid dari Australia Utara melalui kepulauan Maluku
Tenggara, Irian jaya, NTT, dan memasuki pulau Buton dan pulau Muna serta
pulau-pulau di sekitarnya kurang lebih 10.000-20.000 tahun SM
a.
Kepercayaan
Mantra merupakan salah satu tradisi yang
berkembang secara lisan dan tergolong ke
dalam salah satu bentuk tradisi lisan. Mantra merupakan jenis sastra lisan yang
berbentuk puisi dan bagian dari genre sastra lisan kelompok folklor. Folklor
adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara
turun-temurun, diantara macam kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam
versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan
gerak isyarat atau alat pembantu pengingat, menemonic device (Danandjaja,
2002:46).
Melakukan ritual
mantranya disesuaikan dengan waktu dan jenis mantranya. Kepercayaan masyarakat
setempat bahwa terkabul tidaknya mantra yang dipersembahkan pawang atau
dukunnya tergantung konteks waktu dan tempatnya. Setiap mantra memiliki
kekhasan tersendiri dari segi bahasa dan
kelengkapan ritualnya. Karena sebuah mantra bila diucapkan pada sembarang
tempat bukan pada tujuannya, maka akan hilang kekuatannya.
Penggunaan bahasa mantra disesuaikan dengan
upacara-upacara pembacaan mantranya seperti saat memandikan bayi yang baru
lahir (mesosambakai), upacara penyucian diri karena melanggar adat atau mantra
penolak bala (mosehe), memasuki rumah baru (pewiso laika wo’ohu), dan
keselamatan pernikahan (mohue o sara) dalam masyarakat Tolaki.
Buton
Penduduk pertama pulau buton belum diperoleh
data yang pasti. namun berdasarkan penemuan arkeologi yang terdapat pada
gua-gua, menunjukkan bahwa daerah ini telah dihuni manusia sejak masa pra
sejarah. di daerah buton termasuk kepulauan, dilihat dari unsur bahasa, dan
warna kulit, Nampak adanya keragaman asal-usul mereka.
jika ditelusuri dari peninggalan yang terdapat
di gua-gua pra sejarah : (1) gua Akka kuri-kuri yang terletak di Kaledupa,
menunjukkan adanya kuburan dalam gua yang diyakini sebagai kuburam mantan
penguasa setempat. kuburan tersebut dikelilingi batu nisan yang bertulis namun
tulisan tersebut kurang jelas, (2) gua Batuburi yang terletak di kabaena,
menunjukkan adanya gambar orang yang sedang menari, lukisan burung kakatua,
lukisan tombak, dan (3) gua Malaoge yang terletak di daratan pulau buton juga
menyimpan lukisan pra sejarah berupa binatang, orang, dan patung manusia
raksasa.
Dari segi bahasa berdasarkan hasil penelitian
seorang antropolog jerman Prof. Dr. Devosmer menunjukkan bahwa terdapat lima
kelompok bahasa yaitu : (1) bahasa Pancana, meliputi penduduk yang berdiam di
daerah perbatasan buton muna, (2) bahasa Moronene, bagi penduduk yang berdiam
di pulau kabaena dan wilayah buton di daratan pulau Sulawesi, (3) bahasa Sui
(cia-cia), meliputi penduduk yang berdiam di Batauga, sampolawa, pasarwajo dan
lasalimu, (4) bahasa Liwuta, meliputi penduduk kepulauan wakatobi, (5) bahasa
Wolio, meliputi penduduk Wolio dan Betoambari kecuali katobengke.
sedangkan menurut tradisi lisan masyarakat
setempat menyatakan bahwa penduduk buton sekarang ini merupakan hasil
perkembangan dari empat asal masyarakat, yaitu : (1) simalui yang berasal dari
melayu/sumatera, (2) sijawangkati yang berasal dari jawa, (3) sitamananjo yang
berasal dari manado Sulawesi utara, (4) sipanjongan yang berasal dari johor
Malaysia.
a.
Pemenuhan
Kebutuhan Hidup Primer
Berdasarkan hasil temuan dalam gua-gua Pra
sejarah menunjukkan adanya gambar binatang dan tombak, berarti penghuni manusia
gua memenuhi kebutuhannya melalui cara berburu, dengan binatang buruannya
adalah rusa dan berbagai jenis burung, demikian pula hasil temuan tentang
adanya tumpukan kerang laut di daerah-daerah pantai dan kepulauan sebagai bahan
makanan mereka. di daerah moroane misalnya ditemukan lapisan tumpukan kulit
kerang yang cukup banyak.
pada masa berburu tingkat lanjut bukti-bukti
dari lukisan gua yang rupanya langsung disusul dengan kehidupan bercocok tanam
namun belum jelas jenis tanaman apa yang ditanam. rupanya manusia penduduk gua
ini yang diduga sebagai ras austro melanesoid kemudian terdesak setelah
datangnya ras mongoloid atau mungkin mereka sebagian melakukan asimilasi
sehingga melahirkan penduduk yang sekarang, dimana ciri keduanya masih
ditemukan di daerah ini.
Dalam kurun waktu kehidupan bercocok tanam
ini, dikenal adanya tanaman sejenis polong yang sebelumnya tumbuh liar di
hutan-hutan, namun kini semakin langka, kemudian jenis umbian gatal ( keladi
liar) sebagai jenis makanan yang dijumpai di daerah Wabula. cara bercocok tanam
adalah berladang liar yang menyebabkan mereka berpindah-pindah tempat yang
dalam perkembangannya juga menanam ubi kayu, ubi jalar, dan jagung.
Pada masa ini belum jelas bagaimana cara
mereka menutup tubuh, namun dapat diduga mereka membuat pakaian dari kulit
binatang dan daun-daunan. suatu alat yang meruapakan tradisi pra sejarah oleh
masyarakat setempat disebut “Watu Tinangki” (batu yang disisipkan di pinggang).
batu ini masih dimiliki oleh beberapa orang anggota masyarakat yang diyakini
sebagai batu asahan yang anti kekebalan, sehingga senjata yang akan dipakai
dalam perang diasah pada batu ini akan melunturkan kekebalan pada lawan. Akan
tetapi pantangannya adalah tidak bisa dipegang oleh seorang wanita karena dapat
melunturkan khasiatnya.
Selain itu, jika diamati dari rumah
adat/penduduk setempat yang memperlihatkan rumah tiang, namun belum diperoleh
informasi secara pasti kapan tradisi ini dimulai. tetapi dapat diduga bahwa
segera setelah meninggalkan gua, maka mereka berusaha mendirikan tempat tinggal
yang tinggi untuk melindungi diri mereka dari gangguan alam dan binatang buas.
b.
Alam
Pikiran dan Kepercayaan
Lukisan pada gua dan cerita tradisional
menunjukkan kepercayaan dan alam pikiran mereka. Lukisan tangan misalnya dapat
menggambarkan adanya kekuatan magis religius,
Di
Buton tradisi megalitik dapat dilihat dari upacara sehabis panen pada kuburan tertentu
setiap tahun, misalnya pada kuburan majapahit di Batauga dan kuburan sultan
Buton La Karambau di Siontapina. Upacara ini dilakukan untuk menghormati dan
memohon berkah dari kubur, hutan, batu besar, dan gunung mempunyai makhluk
halus sebagai pemiliknya. Upacara dan tarian sebelum melakukan kegiatan:
Berburu, membuka kebun baru, membuka perkampungan baru, awal panen, hendaknya
menebang pohon. Upacara dan kesenian ini merupakan persembahan atau permintaan
izin kepada penghuni tempat itu, yang diyakini akan mengganggu jika tidak
dihormati dengan kegiatan tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jadi, Pada umumnya Asal-usul masyarakat
Sulawesi Tenggara. Ras Melangenoi Austromelanesoid. Kehidupan mereka bermula
dari berpindah-pindah tempat mulai dari menempati gua-gua dan akhirnya
mendirikan rumah tinggi. Sebagian besar mata pencahariannya ada pada pertanian
dan perkebunan.
Mereka juga memiliki keyakinan-keyakinan yang
mistis baik itu pada Alam semesta dan benda-benda tertentu yang dianggap
memiliki nilai sakral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar