Selasa, 30 Desember 2014

ASAL-USUL PENDUDUK SULAWESI TENGGARA DAN SISTEM KEPERCAYAAN



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
 Informasi mengenai asal-usul penghuni pertama daratan Sultra dan kepulauan Buton dan Muna. Prof. Dr. E. Rustam Tamburaka sebagai ketua tim peneliti “Sejarah Sulawesi Tenggara dan 38 Tahun Sultra Membangun”. Diuraikannya dengan sangat jelas bahwa “Penduduk pertama daratan sultra termasuk kepulauan Buton dan Muna adalah bagian yang tak terpisahkan dari persebaran penduduk yang mendiami kepulauan nusantara, yaitu Ras Mongoloid dan Ras Austro Melanesoid.
 Celebes Tenggara atau Sulawesi tenggara sebagai suatu istilah geografis telah dikenal beberapa abad yang lalu. Dalam perjanjian antara Sultan Buton Dayanu Ikhsanuddin laelangi dengan Apollonius Schot dari VOC Belanda tanggal 5 januari 1613. Kesultanan Buton disebutkan, terletak di Zuid Oost Celebes atau Sulawesi Tenggara. A Ligtvoet, dalam bukunya: Beschrijving en Geschiedenis Van Buton, 1877 menyebutkan jazirah Sulawesi Tenggara dengan ( Het Zuidoostelijk Schiereiland Van Celebes ).

B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Asal-usul Penduduk Sulawesi Tenggara
2.      Apa saja sistem kepercayaan?

 
BAB II
PEMBAHASAN
1.      Suku Muna
A.    Asal Usul
 Suku Muna adalah suatu suku yang terdapat di pulau Muna kabupaten Muna dan pulau-pulau kecil sekitarnya, terdapat juga di pulau Buton, pulau Siompu, pulau Kadatua dan kepulauan Talaga provinsi Sulawesi Tenggara.
 Menurut La Kimi Batoa dalam bukunya "Sejarah Muna" dikatakan bahwa penduduk asli pulau Muna adalah O Tomuna dan Batuawu.
A      Tomuna memiliki ciri-ciri berkulit hitam, rambut ikal tinggi badan antara 160- 165 cm. Ciri-ciri ini merupakan ciri-ciri umum suku-suku melanesia.
B       Batuawu berkulit coklat berambut ikal dan tinggi tubuh sekitar 150-160 cm. Ciri-ciri seperti ini merupakan ciri yang dimiliki suku-suku polynesia yang mendiami Nusa Tenggara Timur dan daerah Maluku.
 Menurut para peneliti nenek moyang orang Muna (O Tomuna dan Batuawu) telah menghuni pulau Muna sejak ribuan tahun yang lalu. Selain di pulau Muna, mereka juga menjadi penghuni pulau Buton dan pulau-pulau keci lainnya. Penyebaran ini terlihat dari hubungan bahasa dan ciri-ciri fisik yang terdapat di daerah pulau-pulau tersebut.
 Orang Muna menjadi penghuni pertama pulau Muna dan pulau-pulau lainnya sejak zaman purbakala. Hal terbukti dengan ditemukannya relief purba di gua Liangkobori dan Gua Metanduno. Menurut beberapa peneliti, relief tersebut telah berusia lebih dari 25.000 tahun. Relief yang ada di Gua Liangkobori dan Metanduno secara jelas menceritakan aktifitas nenek moyang orang Muna saat itu.
 Dari relief tersebut disimpulkan kalau nenek moyang orang Muna menempati gua sebagai tempat tinggal mereka. Orang Muna saat itu seperti yang diceritakan dari relief tersebut telah menggunakan alat-alat pertanian dalam bercocok tanam. Sepertinya mereka juga memiliki pengetahuan tentang astronomi, seperti yang terlihat dari gambar matahari, bulan dan bintang. Terdapat beberapa nama rasi bintang yang menjadi petunjuk untuk melakukan aktifitas pertanian. Misalnya saja rasi bintang yang dinamakan Fele, apabila rasi bintang ini sudah makin terlihat jelas, maka aktifitas membersihkan lahan segera dimulai sebab satu bulan lagi hujan pertama akan turun. Apabila hujan sudah turun maka pembakaran lahan dimulai.
 Salah satu tradisi muna yang populer adalah "Perkelahian Kuda", yang diadakan pada berbagai acara atau perayaan dan penyambutan tamu penting atau melayani permintaan khusus. Seekor kuda betina akan diperebutkan oleh dua ekor kuda jantan sehingga mereka berkelahi untuk mendapatkannya. Perkelahian ini biasanya diadakan di lapangan terbuka
Masyarakat suku Muna sebagian besar hidup pada bidang pertanian. Mereka membuka lahan dengan aturan-aturan adat yang disepakati dan ditaati bersama. Tanaman padi menjadi tanaman utama mereka. Selain itu jagung, ubi kayu, ubi jalar dan beberapa jenis sayuran serta buah-buahan juga tambahan dalam hasil pertanian mereka.
a.      Sistem Kepercayaan
 Masyarakat pada masa itu beranggapan bahwa tiap-tiap benda atau makhluk mempunyai makna. Mereka percaya bahwa tiap benda/makhluk mempunyai jiwa atau roh seperti jiwa manusia yang secara tak langsung dapat dilihat dengan mata. Jika ada orang meniggal maka tubuhnya yang hancur sedang jiwanya tetap hidup dan seakan-akan tinggal di sekelilingnya. Jadi anggapan mereka dunia dimana kita hidup terdapat jiwa orang-orang yang sudah meninggal. Begitu pula makhlul lain yang tidak Nampak sering diibaratkan dengan hantu, kuntilanak, dan sebagainya.
 Mereka beranggapan orang-orang yang telah meninggal tidak lepas dari masyarakat (orang-orang yang masih hidup). dan mereka itu tetap memperhatikan orang-orang yang ditinggalkan. Atas kepercayaaan ini, maka mereka selalu mengadakan pemujaan terhadap arwah nenek moyang. Wujud perwujudan tersebut dilakukan melalui upacara-upacara yang ritual tradisional, missal pada waktu membuka tanah untuk kebun atau pada waktu memulai musim tanam. 
B.  Suku Tolaki
 Menurut Prof. Drs. Rustam E. Tamburaka, M.A. (1989), bila dilihat dari ciri-ciri antropologisnya baik Chepaliks index, mata, rambut, maupun warna kulit, suku Tolaki memiliki kesamaan dengan ras Mongoloid. Diduga berasal dari Asia Timur, mungkin dari Jepang dan kemudian disebarkan keselatan melalui kepulauan Riukyu, Taiwan, Philipina. Ada juga yang mengatakan bahwa perpindahan pertama berasal dari Yunan (RRC) ke selatan Philipina, Sulawesi Utara ke pesisir timur Halmahera. Pada saat memasuki daratan Sulawesi Tenggara masuk melalui muara sungai Lasolo dan Konawe yang dinamakan Andolaki.
 Dr. Albert C. Kruyt (orang Belanda) mengemukakan bahwa: suku Tolaki mempunyai pertalian erat dengan suku-suku Malili di daerah Mori, hampir pasti bahwa perpindahannya dari utara menuju ke selatan menempati dan menduduki tempat sekarang ini dengan menyusuri sungai lasolo yang dalam sumbernya terdapat danau Towuti. (Lakebo, 1986).
 Pendapat di atas diperoleh kesan bahwa penduduk Sulawesi Tenggara khususnya suku Tolaki dalam penyebarannya berawal dari danau Matana atau pertalian daerah dengan suku Malili dari daerah Mori. Perpindahan tersebut berawal dari Yunan atau mungkin kepulauan Riukiyu di Jepang dan dari arus perpindahan secara bergelombang mereka sebagian melewati danau Matana
 Dalam profil kependudukan dan keluarga berencana propinsi Sulawesi Tenggara hasil penelitian Rustam Tamburaka menerangkan sebagai berikut:
 Orang Tolaki apabila dilihat dari ciri-ciri Antropologinya maupun shepalik indeknya seperti mata, rambut, maupun warna kulit, maka suku tolaki memiliki ciri-ciri yang sama dengan ras Mongoloid yang berasal dari Asia Timur, mungkin dari Jepang dan kemudian menyebar ke selatan melalui kepulauan Riukiyu, Taiwan dan juga Philipina. Ada juga menyatakan bahwa perpindahan pertama berasal dari Yunan di selatan Philipina, Sulawesi Utara ke pesisir timur Sulawesi. Pada saat memasuki daratan Sulawesi Tenggara masuk melalui muara sungai Lasolo dan Konaweeha yang bermukim awal di Andolaki (1889: 57).
 Apabila pendapat di atas  dihubungkan dengan hasil penelitian para ahli pra sejarah,misalnya : Van Stein Collenfels, Van Gelden, Hercel dan Coen, maka menurut pendapat penulis yaitu dari Ras Mongoloid dan Ras Austromelanesoid.
 Adapun proses persebarannya hingga sampai di daratan kendari, kolaka, kepulauan Buton dan Muna di Sulawesi Tenggara melalui dua arah dan empat gelombang.
 Pertama: Dari arah Utara terdiri atas tiga gelombang perpindahan yaitu: gelombang pertama Ras Molongoid dari Cina Selatan dan kepualauan Riukiyu Jepang melalui Vietnam, kepualauan Philipina, sangir Talaud, Sulawesi Utara, Halmahera, Sulawesi bagian timur lalu masuk di daratan Sulawesi tenggara melalui muara sungai berkonsentrasi di Andolaki.
 Perpindahan gelombang kedua berasal dari arah utara tetapi memasuki pulau Sulawesi dari arah barat (semenanjung melayu) dinamakan Ras Proto Melayu, dan sisanya adalah orang Katobengke dan orang Wara di Buton, orang Labora di Muna dan orang Toare di daratan Sulawesi Tenggara dan jumlahnya sedikit.
 Perpindahan gelombang ketiga oleh doctor Alb. C. Kruyt disebut gelombang deutro Melayu, juga dari arah utara dan barat dan memasuki Sulawesi Tenggara melalui danau Towuti dan Matana.
 Perpindahan gelombang keempat yaitu perpindahan ras Austro Melanesoid dari Australia Utara melalui kepulauan Maluku Tenggara, Irian jaya, NTT, dan memasuki pulau Buton dan pulau Muna serta pulau-pulau di sekitarnya kurang lebih 10.000-20.000 tahun SM
a.      Kepercayaan
 Mantra merupakan salah satu tradisi yang berkembang secara lisan  dan tergolong ke dalam salah satu bentuk tradisi lisan. Mantra merupakan jenis sastra lisan yang berbentuk puisi dan bagian dari genre sastra lisan kelompok folklor. Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, diantara macam kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat, menemonic device (Danandjaja, 2002:46).
 Melakukan ritual mantranya disesuaikan dengan waktu dan jenis mantranya. Kepercayaan masyarakat setempat bahwa terkabul tidaknya mantra yang dipersembahkan pawang atau dukunnya tergantung konteks waktu dan tempatnya. Setiap mantra memiliki kekhasan tersendiri  dari segi bahasa dan kelengkapan ritualnya. Karena sebuah mantra bila diucapkan pada sembarang tempat bukan pada tujuannya, maka akan hilang kekuatannya.
 Penggunaan bahasa mantra disesuaikan dengan upacara-upacara pembacaan mantranya seperti saat memandikan bayi yang baru lahir (mesosambakai), upacara penyucian diri karena melanggar adat atau mantra penolak bala (mosehe), memasuki rumah baru (pewiso laika wo’ohu), dan keselamatan pernikahan (mohue o sara) dalam masyarakat Tolaki.
 Buton
 Penduduk pertama pulau buton belum diperoleh data yang pasti. namun berdasarkan penemuan arkeologi yang terdapat pada gua-gua, menunjukkan bahwa daerah ini telah dihuni manusia sejak masa pra sejarah. di daerah buton termasuk kepulauan, dilihat dari unsur bahasa, dan warna kulit, Nampak adanya keragaman asal-usul mereka.
 jika ditelusuri dari peninggalan yang terdapat di gua-gua pra sejarah : (1) gua Akka kuri-kuri yang terletak di Kaledupa, menunjukkan adanya kuburan dalam gua yang diyakini sebagai kuburam mantan penguasa setempat. kuburan tersebut dikelilingi batu nisan yang bertulis namun tulisan tersebut kurang jelas, (2) gua Batuburi yang terletak di kabaena, menunjukkan adanya gambar orang yang sedang menari, lukisan burung kakatua, lukisan tombak, dan (3) gua Malaoge yang terletak di daratan pulau buton juga menyimpan lukisan pra sejarah berupa binatang, orang, dan patung manusia raksasa.
 Dari segi bahasa berdasarkan hasil penelitian seorang antropolog jerman Prof. Dr. Devosmer menunjukkan bahwa terdapat lima kelompok bahasa yaitu : (1) bahasa Pancana, meliputi penduduk yang berdiam di daerah perbatasan buton muna, (2) bahasa Moronene, bagi penduduk yang berdiam di pulau kabaena dan wilayah buton di daratan pulau Sulawesi, (3) bahasa Sui (cia-cia), meliputi penduduk yang berdiam di Batauga, sampolawa, pasarwajo dan lasalimu, (4) bahasa Liwuta, meliputi penduduk kepulauan wakatobi, (5) bahasa Wolio, meliputi penduduk Wolio dan Betoambari kecuali katobengke.
 sedangkan menurut tradisi lisan masyarakat setempat menyatakan bahwa penduduk buton sekarang ini merupakan hasil perkembangan dari empat asal masyarakat, yaitu : (1) simalui yang berasal dari melayu/sumatera, (2) sijawangkati yang berasal dari jawa, (3) sitamananjo yang berasal dari manado Sulawesi utara, (4) sipanjongan yang berasal dari johor Malaysia.
a.    Pemenuhan Kebutuhan Hidup Primer
 Berdasarkan hasil temuan dalam gua-gua Pra sejarah menunjukkan adanya gambar binatang dan tombak, berarti penghuni manusia gua memenuhi kebutuhannya melalui cara berburu, dengan binatang buruannya adalah rusa dan berbagai jenis burung, demikian pula hasil temuan tentang adanya tumpukan kerang laut di daerah-daerah pantai dan kepulauan sebagai bahan makanan mereka. di daerah moroane misalnya ditemukan lapisan tumpukan kulit kerang yang cukup banyak.
 pada masa berburu tingkat lanjut bukti-bukti dari lukisan gua yang rupanya langsung disusul dengan kehidupan bercocok tanam namun belum jelas jenis tanaman apa yang ditanam. rupanya manusia penduduk gua ini yang diduga sebagai ras austro melanesoid kemudian terdesak setelah datangnya ras mongoloid atau mungkin mereka sebagian melakukan asimilasi sehingga melahirkan penduduk yang sekarang, dimana ciri keduanya masih ditemukan di daerah ini.
 Dalam kurun waktu kehidupan bercocok tanam ini, dikenal adanya tanaman sejenis polong yang sebelumnya tumbuh liar di hutan-hutan, namun kini semakin langka, kemudian jenis umbian gatal ( keladi liar) sebagai jenis makanan yang dijumpai di daerah Wabula. cara bercocok tanam adalah berladang liar yang menyebabkan mereka berpindah-pindah tempat yang dalam perkembangannya juga menanam ubi kayu, ubi jalar, dan jagung.
 Pada masa ini belum jelas bagaimana cara mereka menutup tubuh, namun dapat diduga mereka membuat pakaian dari kulit binatang dan daun-daunan. suatu alat yang meruapakan tradisi pra sejarah oleh masyarakat setempat disebut “Watu Tinangki” (batu yang disisipkan di pinggang). batu ini masih dimiliki oleh beberapa orang anggota masyarakat yang diyakini sebagai batu asahan yang anti kekebalan, sehingga senjata yang akan dipakai dalam perang diasah pada batu ini akan melunturkan kekebalan pada lawan. Akan tetapi pantangannya adalah tidak bisa dipegang oleh seorang wanita karena dapat melunturkan khasiatnya.
 Selain itu, jika diamati dari rumah adat/penduduk setempat yang memperlihatkan rumah tiang, namun belum diperoleh informasi secara pasti kapan tradisi ini dimulai. tetapi dapat diduga bahwa segera setelah meninggalkan gua, maka mereka berusaha mendirikan tempat tinggal yang tinggi untuk melindungi diri mereka dari gangguan alam dan binatang buas.
b.   Alam Pikiran dan Kepercayaan
 Lukisan pada gua dan cerita tradisional menunjukkan kepercayaan dan alam pikiran mereka. Lukisan tangan misalnya dapat menggambarkan adanya kekuatan magis religius,
Di Buton tradisi megalitik dapat dilihat dari upacara sehabis panen pada kuburan tertentu setiap tahun, misalnya pada kuburan majapahit di Batauga dan kuburan sultan Buton La Karambau di Siontapina. Upacara ini dilakukan untuk menghormati dan memohon berkah dari kubur, hutan, batu besar, dan gunung mempunyai makhluk halus sebagai pemiliknya. Upacara dan tarian sebelum melakukan kegiatan: Berburu, membuka kebun baru, membuka perkampungan baru, awal panen, hendaknya menebang pohon. Upacara dan kesenian ini merupakan persembahan atau permintaan izin kepada penghuni tempat itu, yang diyakini akan mengganggu jika tidak dihormati dengan kegiatan tersebut.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
 Jadi, Pada umumnya Asal-usul masyarakat Sulawesi Tenggara. Ras Melangenoi Austromelanesoid. Kehidupan mereka bermula dari berpindah-pindah tempat mulai dari menempati gua-gua dan akhirnya mendirikan rumah tinggi. Sebagian besar mata pencahariannya ada pada pertanian dan perkebunan.
 Mereka juga memiliki keyakinan-keyakinan yang mistis baik itu pada Alam semesta dan benda-benda tertentu yang dianggap memiliki nilai sakral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar